UPDATE TERUS INFORMASI ANDA DENGAN MEMBACA BERITA AKURAT DAN TERPERCAYA DISINI

Senin, 30 Desember 2024

Ini Sejarah Pemungutan Pajak di Indonesia, Dari Zaman Kuno Hingga Kini


 Pajak adalah pungutan yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah. Pajak menjadi salah satu sumber pemasukan negara, yang nantinya digunakan untuk membangun negara dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Saat ini, ada banyak jenis pajak yang dibebankan kepada rakyat Indonesia. Beberapa di antaranya yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor, dan masih banyak lainnya. Apabila ditelusuri sejarahnya, pemungutan pajak di Indonesia sudah ada sejak zaman kuno atau pada masa kerajaan Hindu-Buddha.

Sejarah pemungutan pajak pada zaman kuno Bukti bahwa pada zaman kuno sudah dikenal pemungutan pajak didapatkan dari prasasti. Pajak wajib dibayarkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan, melalui seorang perantara yang ditugaskan sebagai petugas pajak. Sebagai imbalan dari pungutan wajib yang dibayarkan, rakyat akan mendapat jaminan keamanan dari raja.
Ternyata, kasus korupsi atau kecurangan atas pajak negara sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Kasus penyelewengan pajak negara beberapa kali tercatat dalam prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno dari awal abad ke-10, dua di antaranya adalah Prasasti Luitan (901 M) dan Prasasti Palepangan (906 M). Pada intinya, Prasasti Luitan dan Palepangan berisi tentang korupsi yang dilakukan petugas pajak dengan cara memanipulasi pengukuran sawah. Alhasil, pajak tanah yang dibayarkan rakyat menjadi lebih besar daripada seharusnya.

Pada masa itu, dikenal pula sistem keringanan dan pembebasan pajak. Prasasti Rumwiga I (904 M) misalnya, mencatat dikabulkannya permohonan pengurangan pajak untuk Desa Rumwiga. Topik terkait pembebasan pajak, terutama atas kepemilikan tanah, paling banyak dicatat pada prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Hindu-Buddha hingga era Kerajaan Majapahit.

Biasanya, pembebasan pajak atas kepemilikan tanah, atau biasa disebut tanah perdikan atau sima, diresmikan dengan pembuatan prasasti. Sima adalah tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa kepada masyarakat di suatu wilayah yang dianggap berjasa. Karena itu, keberadaan tanah sima atau tanah perdikan dilindungi oleh kerajaan, bahkan dibebaskan dari pungutan pajak.

Sejarah pemungutan pajak pada zaman penjajahan Pada masa penjajahan Belanda, berbagai macam pajak juga dibebankan kepada rakyat Indonesia. Melansir laman Direktorat Jenderal Pajak, dalam catatan sejarah badan otonomi Belanda, kongsi dagang Belanda, VOC memungut pajak dari pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya.

Pajak yang dibebankan antara lain Pajak Rumah, Pajak Usaha, dan Pajak Kepala. Namun, VOC tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia (Jakarta), Maluku dan lainnya. Kemudian, pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) ada pemungutan pajak dari pintu gerbang (baik orang dan barang), pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), dan pungutan pajak terhadap rumah. Selanjutnya, pada masa pendudukan Inggris (1811-1816), Letnan Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles memperkenalkan sistem pemungutan pajak di Indonesia, yang dikenal dengan sebutan Landrent Stesel. Sistem pengenaan pajak yang diadopsi dari Bengali, India, ini mengatur pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial.

Raffles beranggapan bahwa tanah yang dikelola oleh petani merupakan tanah negara, sehingga sudah seharusnya rakyat membayar sewa tanah kepada pemerintah kolonial, dalam hal ini Inggris. Besaran tarif pajak yang dikenakan adalah pendapatan rata-rata petani dalam setahun. Landrent Stesel inilah yang menjadi cikal bakal pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Indonesia saat ini. Pada awal abad ke-19, Belanda juga memperkenalkan pajak penghasilan kepada penduduk pribumi maupun non-pribumi, yang mendapat penghasilan di Hindia Belanda, sebutan Indonesia kala itu. Pajak pendapatan untuk pribumi dikenakan atas kegiatan usahanya, misalnya seperti perdagangan, sedangkan untuk orang non-pribumi dikenakan atas paten usaha bidang industri, pertanian, kerajinan tangan, manufaktur, dan sejenisnya.
Pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak diketahui terkait sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia. Yang pasti, selain dibebani dengan kewajiban Romusha, rakyat juga dipaksa membayar pungutan, yang dianggap oleh sejumlah orang sebagai pajak. 

Menjelang kemerdekaan Indonesia, salah satu topik penting yang dibicarakan oleh para tokoh pendiri negara adalah terkait pajak. Pemerintah paham bahwa negara tanpa sumber pembiayaan tidak akan bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Kata pajak pertama kali disebut oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Radjiman Wedyodiningrat dalam sidang Panitia Kecil mengenai "keuangan", dalam masa reses BPUPKI.

Radjiman menyatakan bahwa pemungutan pajak harus diatur oleh hukum. Selanjutnya, kata pajak muncul dalam Rancangan UUD Kedua, yang disampaikan pada tanggal 14 Juli 1945 pada Bab VII Hal Keuangan - Pasal 23 butir kedua yang berbunyi, "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang". Tanggal 14 Juli 1945 dinilai sebagai momentum penting bagi sejarah pajak di Indonesia, dan kini telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pajak.

Pada 19 Agustus 1945, dibentuk Kementerian Keuangan, yang di dalamnya terdapat Pejabatan Pajak, yaitu bagian yang mengurus tentang pengenaan pajak di Indonesia. Namun, langkah pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang khusus yang mengatur tentang pajak sempat tersendat akibat kembalinya Belanda yang ingin berkuasa di Indonesia. Oleh sebab itu pula, pada awal kemerdekaan, sistem pemungutan pajak yang diberlakukan masih banyak berkaca pada sistem yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda. Pada masa itu, pemerintah menerapkan sistem official assesment dalam pengenaan pajak kepada masyarakat, yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus (bendahara negara). Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Pada masa Orde Baru, pembagian wewenang antara pajak yang dikelola pusat dan daerah mulai terlihat. Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem self asssesment.

Sistem pemungutan pajak baru yang dicetuskan oleh Orde Baru dikenal dengan MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Sistem ini muncul setelah evaluasi pemerintah terhadap kegagalan sistem pemungutan pajak yang lama, ketika peran penghitungan pajak dilakukan sepihak oleh fiskus. Di sistem baru ini, sebagian besar penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak, yang diberi kewenangan untuk menghitung pendapatan, kekayaan, dan pajaknya sendiri. Seiring waktu, beberapa masalah muncul dan menjadikan aturan ini tidak lagi relevan, yang berdampak pada perombakan besar terhadap aturan ini pada tahun 1983, 1985, 1991, 1994, dan 1997. Pada awal Reformasi hingga sekarang, pembaruan undang-undang perpajakan di Indonesia cukup sering terjadi, misalnya pada 2000, 2002, 2003, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2021.

Site Search