
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal memanggil sejumlah pihak yang diduga mengetahui aliran dana pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), termasuk mantan Menteri Ketenagakerjaan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
"Pihak-pihak yang diduga mengetahui dugaan aliran pemerasan terkait dengan perkara RPTKA ini, nantinya akan dimintai keterangan oleh penyidik sehingga membuat terang perkara ini," kata Jubir KPK, Budi Prasetyo, kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025).
Penyidik akan mendalami pengetahuan Cak Imin selaku Menteri Ketenagakerjaan, apakah mengetahui adanya dugaan korupsi di lingkungan Kemnaker. Hal ini dilakukan untuk membangun konstruksi perkara secara menyeluruh.
"Mendalami bagaimana peran dari masing-masing. Apakah turut serta aktif atau kita lihat posisinya seperti apa dalam konstruksi perkara ini," ucapnya.
Kejara Aliran hingga ke Menteri
Sebelumnya, KPK tengah menyidik kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemnaker pada periode 2019–2024. Namun terungkap, praktik pemerasan diduga sudah terjadi sejak 2012.
Tiga menteri yang menjabat dalam rentang waktu tersebut adalah Muhaimin Iskandar (2009–2014), Hanif Dhakiri (2014–2019), dan Ida Fauziyah (2019–2024). Ketiganya merupakan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
"Praktik ini bukan hanya dari 2019, dari hasil proses pemeriksaan yang KPK laksanakan memang praktik ini sudah mulai berlangsung sejak 2012," kata Plt Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo Wibowo, kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).
KPK membuka peluang pengembangan kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemnaker. Pengembangan ini tidak hanya berhenti pada dugaan pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor yang menjerat sejumlah pejabat eselon I Kemnaker. KPK juga membuka kemungkinan penyidikan hingga ke jajaran menteri melalui penerapan pasal gratifikasi.
"Pasal gratifikasi kami tetapkan ini sebagai pasal lapisan, apabila nanti memang secara alat bukti untuk pemerasannya, misalnya kami tidak mendapatkan alat bukti yang kuat sehingga kemarin dari diskusi dengan teman-teman penuntutan kita lapiskan pasal gratifikasi," ujar Budi.
Menurut Budi, penerapan pasal gratifikasi disiapkan apabila kelak ditemukan keterlibatan pihak setingkat menteri.
"Sehingga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan," imbuhnya.
Selain itu, KPK juga mempertimbangkan penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang diduga menerima uang hasil pemerasan. Penerapan pasal ini menjadi bagian dari upaya pemulihan aset (asset recovery) atas tindak pidana korupsi yang terjadi.
"Saya sampaikan juga bahwa terkait pasal yang mungkin nanti akan kita terapkan, akan kita kembangkan ke tindak pidana pencucian uang. Karena praktik ini sudah berlangsung sejak 2012, sehingga kami akan lebih mudah apabila nanti ketika melakukan asset recovery melalui TPPU terhadap para oknum-oknum yang melaksanakan praktik pemerasan di Kemnaker," kata Budi.
KPK telah mengumumkan identitas para tersangka beserta dugaan nilai aliran dana hasil pemerasan yang mereka terima. Total nilai dugaan aliran dana itu mencapai Rp53,7 miliar pada periode 2019–2024, yakni:
1. Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18 miliar
2. Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13,9 miliar
3. Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA (2021–2025): Rp6,3 miliar
4. Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2,3 miliar
5. Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,8 miliar
6. Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,1 miliar
7. Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580 juta
8. Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460 juta
Selain delapan tersangka tersebut, KPK juga mencatat adanya aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang “dua mingguan”. Dana tersebut juga digunakan untuk keperluan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama pribadi maupun keluarga para tersangka.
***Sumber : Inilah.com***