Pemerintah Tajikistan mengeluarkan undang-undang yang melarang jilbab. Ini adalah aturan terbaru dari serangkaian 35 tindakan terkait agama, dalam sebuah langkah yang digambarkan oleh pemerintah sebagai "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul serta ekstremisme”.
Undang-undang tersebut, melansir Euro News Selasa (25/6/2024), yang disetujui oleh majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada Kamis (20/6) lalu, melarang penggunaan "pakaian asing" – termasuk hijab, atau penutup kepala yang dikenakan oleh perempuan Muslim.
Sebaliknya, warga Tajikistan dianjurkan untuk mengenakan pakaian nasional Tajikistan. Mereka yang melanggar undang-undang akan didenda dengan jumlah mulai dari 7.920 somoni Tajikistan sekitar Rp12 juta untuk warga negara biasa, 54.000 somoni (Rp82 juta) untuk pejabat pemerintah dan 57.600 somoni berkisar Rp88 juta jika mereka adalah tokoh agama.
Undang-undang serupa yang disahkan awal bulan ini juga berdampak pada beberapa praktik keagamaan, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai iydgardak, di mana anak-anak pergi dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri.
Keputusan tersebut dipandang mengejutkan, karena negara Asia Tengah yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa ini 96% penduduknya beragama Islam, menurut sensus terakhir pada tahun 2020. Adapun larangan headscarves atau hijab di Tajikistan dipandang sebagai cerminan dari garis politik yang dijalankan oleh pemerintahan presiden seumur hidup Emomali Rahmon sejak tahun 1997.
Mengubah Masjid jadi Rumah Teh
Di Tajikistan, pemerintahan yang dipimpin oleh presiden seumur hidup Emomali Rahmon telah lama mengincar apa yang mereka gambarkan sebagai ekstremisme.
Setelah perjanjian damai untuk mengakhiri perang saudara selama lima tahun pada tahun 1997, Rahmon – yang telah berkuasa sejak tahun 1994 – pertama kali menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan oposisi Tajikistan Islamic Resurrection Party (TIRP) atau Partai Kebangkitan Islam Tajikistan, yang diberikan serangkaian konsesi.
Menurut perjanjian yang ditengahi PBB, perwakilan TIRP yang pro-Syariah akan berbagi 30% pemerintahan, dan TIRP diakui sebagai partai politik pasca-Soviet pertama di Asia Tengah yang didirikan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Namun, Rahmon berhasil menyingkirkan TIRP dari kekuasaan meskipun partai tersebut seiring berjalannya waktu menjadi lebih sekuler.
Pada tahun 2015, ia kemudian berhasil menutup TIRP dan menetapkannya sebagai organisasi teroris setelah partai tersebut diduga ikut serta dalam upaya kudeta yang gagal, yang menewaskan Jenderal Abdulhalim Nazarzoda, seorang birokrat penting pemerintah.
Sementara itu, Rahmon mengalihkan perhatiannya pada apa yang pemerintahnya gambarkan sebagai pengaruh "ekstremis" di kalangan warga.
Larangan Jilbab Pertama di Lembaga Publik Tajikistan
Setelah pertama kali melarang jilbab di lembaga-lembaga publik, termasuk universitas dan gedung pemerintah, pada tahun 2009, rezim di Dushanbe mendorong sejumlah peraturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh tetapi juga memperkuat kendali mereka atas negara tersebut.
Meskipun tidak ada batasan hukum mengenai janggut di Tajikistan, beberapa laporan menyatakan bahwa penegak hukum telah mencukur paksa pria yang berjanggut lebat, yang dipandang sebagai tanda potensial dari pandangan agama ekstremis seseorang.
Undang-Undang Parental Responsibility atau Tanggung Jawab Orang Tua, yang mulai berlaku pada tahun 2011, memberikan sanksi kepada orang tua yang menyekolahkan anaknya ke pendidikan agama di luar negeri, sedangkan menurut undang-undang yang sama, anak di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.
Pernyataan Komite Urusan Agama Tajikistan pada tahun 2017 mengatakan bahwa 1.938 masjid ditutup hanya dalam satu tahun, dan tempat ibadah diubah menjadi kedai teh dan pusat kesehatan.
Lantas Siapa Siapa sosok Emomali Rahmon dan bagaimana dia bisa berkuasa di Tajikistan?
Rahmon bisa dibilang sosok yang tak sengaja menjadi Presiden seumur Tajikistan karena dukungan keadaan. Pada 1991, Tajikistan baru merdeka dari Uni Soviet dan tokoh komunis Rahmon Nabiyev menjadi presiden pertama Tajikistan usai menang 57 persen suara dalam pemilu langsung pertama negara tersebut.Meski merdeka, kondisi Tajikistan jauh dari kata stabil hingga memicu pemberontakan serta demonstrasi berlangsung di mana-mana.Pada 1992, demo anti-pemerintah di Ibu Kota Dushanbe berubah menjadi perang sipil antara pasukan pemerintah, kelompok Islam, dan kelompok pro-demokrasi. Perang sipil ini menewaskan 20 ribu orang dan membuat ekonomi Tajikistan yang baru merdeka makin terpuruk.Dikutip Radio Free Europe, kondisi ini memaksa Nabiyev mundur pada September 1992. Saat itu, jabatan presiden ditiadakan sehingga ketua parlemen Tajikistan yang saat itu diduduki Rahmon otomatis menjadi kepala negara de facto.Islam sebagai alat politik
Sejak awal berkuasa, Rahmon membawa nilai-nilai komunisme Soviet dalam memerintah, walau di atas kertas ia menginginkan Tajikistan berkembang menjadi negara sekular.Rahmon berusaha keras agar Tajikistan menjadi negara sekular yang bebas dari nilai-nilai agama, terutama Islam, yang dianggap banyak memunculkan ancaman terhadap kepemimpinannya menyusul perang sipilnya dahulu melawan UTO.Meski begitu, Rahmon tetap memanfaatkan Islam sebagai alat diplomasi, terutama dalam mendekati negara-negara berpenduduk Muslim dan Arab.Bahkan pada 1993, dua minggu sebelum berkunjung ke Arab Saudi, Rahmon bersedia masuk Islam dan mempelajari agama tersebut. Hasilnya, Rahmon mendapatkan jutaan dolar bantuan finansial dari negara Arab usai tur diplomasinya ke sejumlah negara di Timur Tengah.Meski begitu, Rahmon tetap membatasi pengaruh agama terutama Islam di negaranya. Laporan Kementerian Luar Negeri AS soal Freedom of Religion pada 1997 menyebutkan Rahmon bahkan tidak segan mengkampanyekan Islam sebagai ancaman pemerintah dan masyarakat. Tak hanya Islam, Tajikistan juga membatasi dan mengontrol ketat praktik keagamaan lainnya seperti Kristen dan Yahudi."Pemerintah Tajikistan menekan semua aktivitas keagamaan secara mandiri menjadi dikontrol negara, khususnya aktivitas umat Islam, Protestan, dan Saksi-Saksi Yehuwa. Pemerintah juga memenjarakanindividu atas tuduhan kriminal yang tidak terbukti terkait dengan aktivitas dan afiliasi keagamaan Islam," bunyi laporan tahunan US Commission on International Religious Freedom soal Tajikstan pada 2013.
Pria kelahiran 1952 di Kulob Oblast, Uni Soviet, itu dibesarkan di keluarga tentara, di mana sang ayah, Sharif Rahmonov, merupakan veteran tentara Soviet atau Red Army yang ikut berperang dalam Perang Dunia II. Rahmon muda juga sempat mengabdi sebagai tentara Soviet yang bertugas di kapal induk Soviet di Pasifik pada 1971-1974.Setelah merampungkan dinasnya, Rahmon kembali ke kampung halaman dan bekerja sebagai tukang listrik. Lulusan ekonomi dari Tajik State National University pun mulai memijaki dunia politik sekitar 1990 usai terpilih menjadi wakil DPRD Tajik Soviet. Sejak itu, karir Rahmon terus merangkak naik hingga akhirnya terpilih sebagai presiden hingga hari ini.